“Apalah Gunanya
Kami[1]”
Fasilitator
seharusnya adalah orang yang memfasilitasi sekelompok masyarakat untuk
mengetahui sumber daya apa saja yang mereka miliki dan kemudian membantu mereka
mengelola sumber daya tersebut, untuk kepentingan masyarakat tersebut. Namun,
pada umumnya yang terjadi adalah fasilitaror menjadi media penghubung antara
pembuat kebijakan dan penerima kebijakan. Untuk benar-benar menjadi seorang
fasilitator, saya memang belum pernah. Tetapi, saya telah beberapa kali menjadi
anggota dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Seluruh kegiatan yang
saya ikuti tersebut dilakukan di Kabupaten Samosir, saya selalu tertarik karena
kabupaten ini adalah daerah wisata sehingga bisa sekalian berlibur. Kabupaten
ini merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Toba Samosir, memiliki 9
kecamatan, dan wilayahnya meliputi seluruh Pulau Samosir dan sebagian wilayah
Pulau Sumatera. Pada umumnya, masyarakat di kabupaten ini adalah etnis Batak
dan beragama Kristen Protestan.
Pengalaman
saya yang pertama menjadi anggota tim pemberdayaan masyarakat dilakukan sekitar
pertengahan tahun 2011. Pada waktu itu, saya dan beberapa orang teman kuliah diajak
oleh salah seorang dosen untuk membantunya menyelesaikan tugas dari Kementerian
Perdagangan yang akan mendirikan pasar percontohan di Kecamatan Pangururan (Ibukota
Kabupaten). Pasar percontohan ini adalah salah satu dari 10 pasar percontohan
yang ada di Indonesia, pasar ini diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik
untuk dikunjungi oleh wisatawan asing ataupun lokal. Pasar didaerah ini tidak
buka setiap hari, melainkan hanya sekali seminggu. Di Kecamatan Pangururan,
pasar buka setiap hari rabu.
Pada
suatu hari di hari rabu yang panas terik, kami bertugas untuk mengisi beberapa
angket yang pertanyaannya ditujukan pada para pedagang di pasar. Sesampainya di
pasar, saya menghampiri seorang bapak pedagang pakaian bekas yang sedang
memisah-misahkan jualannya. Sambil memilih-milih pakaian bekas yang ia jual,
saya mencoba mengajaknya untuk mengobrol dengan menanyakan
pertanyaan-pertanyaan tentang marga[2],
daerah asalnya, sejak kapan berdagang, dan pertanyaan sederhana lainnya. Berhubung
saya harus menyelesaikan beberapa angket, maka ketika suasana sudah mulai
akrab, saya langsung mulai menanyakan perihal pembangunan pasar percontohan di
tempat tersebut. Raut wajahnya langsung berubah, dengan mengerutkan kening, ia menatap
saya dengan tatapan mencurigai. Saya membalas dengan senyuman dan kemudian
memberitahu bahwa saya adalah salah satu anggota tim yang ingin mengetahui
bagaimana tanggapan-tanggapan para pedagang tentang rencana pembangunan
tersebut. Kemudian saya mengeluarkan angket dan memintanya untuk mau menjawab
beberapa pertanyaan yang ada. Itu adalah pengalaman pertama saya mengumpulkan
data dengan menggunakan angket dan hasilnya menurut saya memang kurang mendalam
karena ada beberapa jawaban yang membutuhkan pertanyaan lanjutan agar
benar-benar menampung seluruh pendapat dari pedagang.
Hasil
dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di angket adalah seluruh pedagang yang saya
tanyai tidak setuju dengan adanya pembangunan pasar percontohan tersebut. Hal
yang paling utama mereka tolak adalah penyeragaman luas kios. Beberapa pedagang
mengeluhkan bahwa dengan luas kios yang telah ditentukan, maka ia akan
kesulitan untuk menata barang dagangannya. Selain itu, ketentuan dalam
pengelompokan pedagang berdasarkan jenis barang dagangannya juga tidak
disetujui oleh sebagian pedagang. Misalnya, seorang pedagang ikan yang berada
dekat pintu masuk pasar harus pindah ke belakang karena pada bagian depan pasar
diisi oleh kelompok pedagang yang barang dagangannya kering (mis: klontong atau
sayuran atau buah). Hal ini dianggap akan berdampak pada pengurangan pendapatan
karena selain posisi belakang yang terkadang membuat pembeli malas untuk
menghampirinya, ia juga harus bersaing dengan pedagang-pedagang ikan dari kios
disekitarnya.
Jika
pada hari rabu kami turun ke pasar, maka pada hari sabtunya kami melakukan FGD
(Focus Group Discussion). Dalam melakukan FGD, dosen saya dan rekan-rekannya
sudah menetukan siapa saja yang menjadi peserta diskusi ini. Pada salah satu
sisi dinding ruang telah ditempel beberapa kertas berukuran besar yang nantinya
berfungsi sebagai tempat menulis segala pendapat masyarakat. Di salah satu
kertas tertulis “Mekanisme Penempatan Pedagang di Gedung Baru” dan beberapa
poin-poinnya. Setelah para peserta datang, salah seorang anggota tim (fasilitator)
mulai menuliskan agenda pembahasan hari itu, yaitu masalah dampak relokasi.
Kemudian ia menuliskan dampak sebelum dan sesudah relokasi. Setelah memberikan
penjelasan kepada para peserta, maka peserta satu per satu mulai menyampaikan
pendapatnya. Adakalanya pendapat antar peserta saling bertentangan pada satu
masalah yang sama, namun biasanya akan menemukan jalan keluar ketika peserta
lainnya ikut memberikan pendapat tentang masalah tersebut. Intinya pada hari
itu, peserta diskusi kembali kurang setuju dengan rencana pembangunan pasar
percontohan.
Saya
dan teman-teman tidak memiliki banyak waktu untuk mengikuti kegiatan tersebut
karena masih harus melanjutan kuliah, sehingga kami harus kembali ke Medan pada
hari minggu. Kurang lebih setahun kemudian, saya kembali ke Pangururan dan
tinggal sementara disana untuk melakukan penelitian skripsi. Pada hari rabu,
saya berbelanja ke pasar dan saya melihat pasar tersebut telah berubah. Pasar
yang dulunya masih berlantai tanah yang becek jika hujan dan kios pedagang yang
letaknya semrawut, kini sudah berlantai semen dan sudah berdiri rapi kios-kios
kecil. Sebagian besar pedagang memang dikelompokkan berdasarkan jenis barang
dagangannya, namun masih ada pedagang yang tidak masuk dalam kelompoknya (mis:
pedagang buah bersebelahan dengan pedagang sayur atau klontong). Selain
berbelanja, saya juga sengaja mengelilingi gedung pasar yang baru tersebut
untuk mengetahui apa sih bedanya pasar tersebut dengan pasar yang dulu? Setelah
mengelilingi pasar, saya merasa perbedaan pasar yang sekarang dengan pasar yang
dulu hanyalah pada tempatnya yang kini sudah berdagang dalam bangunan yang
lebih modern. Pengelompokan pedagang berdasarkan jenis barang dagangan
sepertinya kurang berhasil, demikian juga dengan keinginan awal pembangunan
pasar, yaitu sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Selama beberapa minggu
saya belanja di pasar tersebut, sepertinya belum pernah saya berjumpa dengan
wisatawan asing maupun lokal. Hal yang membingungkan bagi saya adalah ntah
mengapa pasar tersebut tidak terlihat ramai seperti dulu? Yah, mungkin saja
sebagian pedagang tidak jualan di pasar itu karena tempatnya terlalu sempit
atau bahkan mereka pindah ke pasar kecamatan lain.
Inilah salah satu pengalaman saya,
pengalaman dimana fasilitator sepertinya hanyalah sebagai formalitas dalam
program pemberdayaan masyarakat. Pengalaman dimana program sudah direncanakan,
baru disosialisasikan pada masyarakat sehingga masyarakat mau tidak mau harus
mengikutinya. Pengalaman yang menjadi refleksi bahwa apa yang kami kerjakan
dulu hanyalah sia-sia. Pengalaman yang menghadirkan pertanyaan “Apalah gunanya
kami?”