Total Tayangan Halaman

Selasa, 11 November 2014

"Apalah Gunanya Kami"

“Apalah Gunanya Kami[1]

Fasilitator seharusnya adalah orang yang memfasilitasi sekelompok masyarakat untuk mengetahui sumber daya apa saja yang mereka miliki dan kemudian membantu mereka mengelola sumber daya tersebut, untuk kepentingan masyarakat tersebut. Namun, pada umumnya yang terjadi adalah fasilitaror menjadi media penghubung antara pembuat kebijakan dan penerima kebijakan. Untuk benar-benar menjadi seorang fasilitator, saya memang belum pernah. Tetapi, saya telah beberapa kali menjadi anggota dalam kegiatan-kegiatan pemberdayaan masyarakat. Seluruh kegiatan yang saya ikuti tersebut dilakukan di Kabupaten Samosir, saya selalu tertarik karena kabupaten ini adalah daerah wisata sehingga bisa sekalian berlibur. Kabupaten ini merupakan hasil dari pemekaran Kabupaten Toba Samosir, memiliki 9 kecamatan, dan wilayahnya meliputi seluruh Pulau Samosir dan sebagian wilayah Pulau Sumatera. Pada umumnya, masyarakat di kabupaten ini adalah etnis Batak dan beragama Kristen Protestan.
Pengalaman saya yang pertama menjadi anggota tim pemberdayaan masyarakat dilakukan sekitar pertengahan tahun 2011. Pada waktu itu, saya dan beberapa orang teman kuliah diajak oleh salah seorang dosen untuk membantunya menyelesaikan tugas dari Kementerian Perdagangan yang akan mendirikan pasar percontohan di Kecamatan Pangururan (Ibukota Kabupaten). Pasar percontohan ini adalah salah satu dari 10 pasar percontohan yang ada di Indonesia, pasar ini diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik untuk dikunjungi oleh wisatawan asing ataupun lokal. Pasar didaerah ini tidak buka setiap hari, melainkan hanya sekali seminggu. Di Kecamatan Pangururan, pasar buka setiap hari rabu.
Pada suatu hari di hari rabu yang panas terik, kami bertugas untuk mengisi beberapa angket yang pertanyaannya ditujukan pada para pedagang di pasar. Sesampainya di pasar, saya menghampiri seorang bapak pedagang pakaian bekas yang sedang memisah-misahkan jualannya. Sambil memilih-milih pakaian bekas yang ia jual, saya mencoba mengajaknya untuk mengobrol dengan menanyakan pertanyaan-pertanyaan tentang marga[2], daerah asalnya, sejak kapan berdagang, dan pertanyaan sederhana lainnya. Berhubung saya harus menyelesaikan beberapa angket, maka ketika suasana sudah mulai akrab, saya langsung mulai menanyakan perihal pembangunan pasar percontohan di tempat tersebut. Raut wajahnya langsung berubah, dengan mengerutkan kening, ia menatap saya dengan tatapan mencurigai. Saya membalas dengan senyuman dan kemudian memberitahu bahwa saya adalah salah satu anggota tim yang ingin mengetahui bagaimana tanggapan-tanggapan para pedagang tentang rencana pembangunan tersebut. Kemudian saya mengeluarkan angket dan memintanya untuk mau menjawab beberapa pertanyaan yang ada. Itu adalah pengalaman pertama saya mengumpulkan data dengan menggunakan angket dan hasilnya menurut saya memang kurang mendalam karena ada beberapa jawaban yang membutuhkan pertanyaan lanjutan agar benar-benar menampung seluruh pendapat dari pedagang.
Hasil dari pertanyaan-pertanyaan yang ada di angket adalah seluruh pedagang yang saya tanyai tidak setuju dengan adanya pembangunan pasar percontohan tersebut. Hal yang paling utama mereka tolak adalah penyeragaman luas kios. Beberapa pedagang mengeluhkan bahwa dengan luas kios yang telah ditentukan, maka ia akan kesulitan untuk menata barang dagangannya. Selain itu, ketentuan dalam pengelompokan pedagang berdasarkan jenis barang dagangannya juga tidak disetujui oleh sebagian pedagang. Misalnya, seorang pedagang ikan yang berada dekat pintu masuk pasar harus pindah ke belakang karena pada bagian depan pasar diisi oleh kelompok pedagang yang barang dagangannya kering (mis: klontong atau sayuran atau buah). Hal ini dianggap akan berdampak pada pengurangan pendapatan karena selain posisi belakang yang terkadang membuat pembeli malas untuk menghampirinya, ia juga harus bersaing dengan pedagang-pedagang ikan dari kios disekitarnya.
Jika pada hari rabu kami turun ke pasar, maka pada hari sabtunya kami melakukan FGD (Focus Group Discussion). Dalam melakukan FGD, dosen saya dan rekan-rekannya sudah menetukan siapa saja yang menjadi peserta diskusi ini. Pada salah satu sisi dinding ruang telah ditempel beberapa kertas berukuran besar yang nantinya berfungsi sebagai tempat menulis segala pendapat masyarakat. Di salah satu kertas tertulis “Mekanisme Penempatan Pedagang di Gedung Baru” dan beberapa poin-poinnya. Setelah para peserta datang, salah seorang anggota tim (fasilitator) mulai menuliskan agenda pembahasan hari itu, yaitu masalah dampak relokasi. Kemudian ia menuliskan dampak sebelum dan sesudah relokasi. Setelah memberikan penjelasan kepada para peserta, maka peserta satu per satu mulai menyampaikan pendapatnya. Adakalanya pendapat antar peserta saling bertentangan pada satu masalah yang sama, namun biasanya akan menemukan jalan keluar ketika peserta lainnya ikut memberikan pendapat tentang masalah tersebut. Intinya pada hari itu, peserta diskusi kembali kurang setuju dengan rencana pembangunan pasar percontohan.
Saya dan teman-teman tidak memiliki banyak waktu untuk mengikuti kegiatan tersebut karena masih harus melanjutan kuliah, sehingga kami harus kembali ke Medan pada hari minggu. Kurang lebih setahun kemudian, saya kembali ke Pangururan dan tinggal sementara disana untuk melakukan penelitian skripsi. Pada hari rabu, saya berbelanja ke pasar dan saya melihat pasar tersebut telah berubah. Pasar yang dulunya masih berlantai tanah yang becek jika hujan dan kios pedagang yang letaknya semrawut, kini sudah berlantai semen dan sudah berdiri rapi kios-kios kecil. Sebagian besar pedagang memang dikelompokkan berdasarkan jenis barang dagangannya, namun masih ada pedagang yang tidak masuk dalam kelompoknya (mis: pedagang buah bersebelahan dengan pedagang sayur atau klontong). Selain berbelanja, saya juga sengaja mengelilingi gedung pasar yang baru tersebut untuk mengetahui apa sih bedanya pasar tersebut dengan pasar yang dulu? Setelah mengelilingi pasar, saya merasa perbedaan pasar yang sekarang dengan pasar yang dulu hanyalah pada tempatnya yang kini sudah berdagang dalam bangunan yang lebih modern. Pengelompokan pedagang berdasarkan jenis barang dagangan sepertinya kurang berhasil, demikian juga dengan keinginan awal pembangunan pasar, yaitu sebagai salah satu daya tarik wisatawan. Selama beberapa minggu saya belanja di pasar tersebut, sepertinya belum pernah saya berjumpa dengan wisatawan asing maupun lokal. Hal yang membingungkan bagi saya adalah ntah mengapa pasar tersebut tidak terlihat ramai seperti dulu? Yah, mungkin saja sebagian pedagang tidak jualan di pasar itu karena tempatnya terlalu sempit atau bahkan mereka pindah ke pasar kecamatan lain.
            Inilah salah satu pengalaman saya, pengalaman dimana fasilitator sepertinya hanyalah sebagai formalitas dalam program pemberdayaan masyarakat. Pengalaman dimana program sudah direncanakan, baru disosialisasikan pada masyarakat sehingga masyarakat mau tidak mau harus mengikutinya. Pengalaman yang menjadi refleksi bahwa apa yang kami kerjakan dulu hanyalah sia-sia. Pengalaman yang menghadirkan pertanyaan “Apalah gunanya kami?”




[1] Kami yang dimaksud pada judul tersebut adalah tim fasilitator
[2] Marga adalah nama keluarga, penanda hubungan kekerabatan