Vel Murugan Vel… Murugan Vel…
Vel Murugan Vel… Murugan Vel…
Begitulah
lantunan sebait lagu yang berulang kali dinyanyikan pada saat pawai di acara
Panguni Uthiram.
Pagi
itu langit mendung dan hujan rintik-rintik, aroma dupa begitu menusuk hidung meskipun
saya masih jauh dari kuil. Dari kejauhan terlihat pengunjung lainnya yang sudah
berkumpul di halaman sebuah kuil. Kuil tersebut bernama Shri Thendayudabani
Bani Koil yang berada di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berada satu
kawasan dengan pasar tradisional, toko-toko klontong, dan bank yang setiap
paginya ramai dikunjungi masyarakat. Begitu juga pada pagi itu, meskipun hujan
rintik-rintik dan jalan becek, namun tidak mengurangi keramaian di tempat
tersebut. Keramaian tidak hanya berasal dari penjual maupun pembeli di pasar,
namun juga berasal dari peserta dan pengunjung yang ingin mengikuti acara di
kuil.
Masyarakat
Hindu-Tamil akan mengadakan acara Panguni Uthiram di kuil tersebut. Saat itu,
saya baru pertama sekali mengikutinya dan masih belum tahu kegiatan apa saja
yang akan dilakukan dalam acara ini. Berdasarkan informasi dari salah seorang
dosen, acara ini adalah acara tahunan yang dilakukan oleh masyarakat
Hindu-Tamil. Salah satu kegiatannya adalah pembayaran nazar dengan menusuk
lidah orang yang keinginannya telah dikabulkan oleh dewa. Sesampainya di kuil,
saya pun langsung mengeluarkan kamera dan membungkusnya dengan plastik karena
masih hujan. Di halaman kuil, ada beberapa patung-patung dewa yang dihias
dengan kalungan-kalungan bunga. Ketika sedang mengambil foto, tiba-tiba seorang
ibu dengan memakai saree[1]
datang menghampiri saya dan berkata: “Nak,
sepatunya dilepas ya. Nanti letakkan aja
di rak itu” ucapnya sambil menunjuk pada rak
sepatu yang berada dekat gerbang kuil. “Oh,
ia buk.” saya menjawab dan segera
melepaskan sepatu. Saya
pun baru menyadari bahwa mampir semua orang yang ada di sana tidak menggunakan
alas kaki. Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hati saya, namun bunyi lonceng
dan barisan laki-laki yang keluar dari dalam kuil mengalihkan perhatian saya.
Seorang
lelaki mengenakan kain orange yang dililitkan pada pinggangnya dan tanpa mengenakan atasan, memimpin barisan tersebut. Tangan kirinya memegang lonceng dan
tangan kanannya memegang piring kuningan yang terdapat api di tengahnya. Kemudian
ia berhenti di halaman tengah kuil, di depan salah satu patung dewa (Ganesa) yang
menyerupai seekor gajah yang sedang berdiri. Sambil membungkuk dan mengucapkan
doa-doa (sembahyang), ia membunyikan lonceng dan memutar piring berisi api
dihadapan patung tersebut. Di barisan belakangnya terlihat anak-anak dan orang
dewasa, namun mereka hanya diam berdiri dengan posisi telapak tangan disatukan
seperti memohon. Dalam hati saya berkata, “mungkin orang yang di belakang ini yang
bernazar.”
Hujan
sudah berhenti dan kini semakin banyak pengunjung yang berdatangan. Sebagian
pengunjung terlihat seperti penduduk setempat, terlihat dari pakaian mereka
yang hanya mengenakan celana pendek, kaos oblong, atau daster. Bahkan ada beberapa
ibu-ibu yang masih memegang plastik belanjaan. Selain itu, ada juga pengunjung
yang sepertinya berasal dari media cetak atau elektronik. Terlihat dari tanda
pengenal yang mereka kalungkan di leher atau seragam yang bertuliskan nama
perusahaan media cetak maupun elektronik.
Semaraknya
hiasan dalam kuil, mendorong saya untuk masuk dan meninggalkan ritual sembahyang
yang sedang dilakukan di luar. Bangunan kuil ini melebar dan pada kedua
ujungnya, terdapat ruangan tanpa pintu yang berisi patung dewa dan besi
besar menyerupai panah. Terdapat beberapa piring-piring aluminium yang berisi
sesajen diletakkan di lantai. Beras, bunga, buah-buahan, rempah-rempah,
kacang-kacangan dan lainnya menjadi pengisi piring-piring tersebut. Di dalam
kuil juga ramai dengan pengunjung yang mengambil foto atau panitia acara yang
merapikan sesajen dan perlengkapan acara lainnya.
Jarum
jam menunjuk ke angka delapan ketika barisan orang-orang dari luar masuk ke
dalam kuil. Ternyata persiapan acara di dalam belum selesai, sehingga semua
orang masih harus menunggu. Ketika menunggu, saya menghampiri salah seorang
laki-laki yang tadi ikut dalam barisan. Setelah berkenalan, saya kemudian mulai
menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan acara tersebut. Laki-laki itu bernama
Raguwan, ia mengatakan bahwa sebagian orang yang berbaris tadi adalah penazar
yang nanti akan di tusuk bagian tubuhnya. Sedangkan ia dan yang lainnya
hanyalah sebagai pelengkap acara tersebut. Tahun ini (2011), penazarnya berjumlah 13
orang dan semuanya laki-laki. Berbeda dengan tahun sebelumnya, yang salah satu
penazarnya ada perempuan. Kemudian,
ia menunjukkan pendeta dan pengurus kuil, dan juga seorang pendeta dari
Malaysia yang memang sengaja diundang menjadi pemimpin acara tersebut.
Belum
lama ngobrol, para pendeta dan
pengurus kuil duduk di sekitar sesajen. Pertanda acara akan kembali dimulai dan
saya pun harus mengakhiri obrolan. Saya dan para pengunjung duduk membaur
dengan orang-orang Hindu-Tamil lainnya ditempat yang sudah disediakan. Selama sembahyang,
kami diminta untuk tidak membelakangi patung para dewa yang ada di dalam kuil. Kemudian,
pendeta dari Malaysia mulai sembahyang sambil memutar-mutar wadah kuningan yang
berisi api ke arah salah satu patung dewa. Kata-kata dalam sembahyang tidak
diucapkan dengan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Hindi, informansi ini saya
peroleh dari wawancara singkat sebelumnya.
Acara
ini sepertinya kurang khusyuk karena kehadiran pengunjung yang terlalu sibuk
untuk mengambil gambar atau merekam kegiatan tersebut. Selama pendeta sembahyang,
beberapa kali cahaya flash kamera mengarah ke pendeta. Beberapa
orang terlihat terganggu, sehingga memberikan pandangan sinis pada pemilik
kamera tersebut. Selain itu, beberapa pengunjung juga masih ada yang
membelakangi patung dewa ketika hendak mengambil foto patung dewa lainnya. Ini
membuat beberapa masyarakat Hindu-Tamil kerap kali mengingatkan, agar tidak
membelakangi atau mengambil foto patung dewa kepada para pengunjung.
Setelah
pendeta selesai sembahyang, beberapa orang dengan seragam merah tiba-tiba masuk
ke kuil. Berdasarkan fisiknya yang bermata sipit dan berkulit putih, saya dapat mengetahui kalau mereka adalah keturunan
Tionghoa. Masing-masing orang memegang dupa dan sembahyang pada
salah satu patung dewa. Saya sempat terkejut juga melihat kehadiran mereka di
acara ini karena sepengetahuan saya, acara ini adalah milik masyarakat
Hindu-Tamil. Kejadian ini kembali menimbulkan pertanyaan dalam hati saya. Setelah
mereka selesai sembahyang, mereka bergabung dengan masyarakat Hindu-Tamil
lainnya. Orang-orang yang bernazar dan pelengkap acara ini kemudian duduk di depan
pendeta dan didoakan satu per satu.
Setelah kegiatan tersebut selesai,
orang-orang kembali sibuk mempersiapkan acara selanjutnya. Beberapa orang
terlihat mengangkat besi-besi yang menyerupai busur panah, rangkaian bulu-bulu
burung merak, dan bunga. Para pengunjung mulai keluar dari kuil dan mengambil
kesibukan masing-masing. Sementara itu, saya masih bertahan dalam kuil,
mencari-cari orang yang tadi saya wawancarai. Tak lama kemudian saya kembali
melihatnya, namun ia sedang mengangkat rangkaian bulu-bulu burung merak sambil
berjalan keluar. Sepertinya ia masih sangat sibuk, saya menggumam dalam hati.
Hari
sudah cerah ketika saya keluar dari kuil. Namun, pengunjung sudah tidak seramai
saat pagi tadi. Tak lama kemudian, para peserta nazar, pendeta, orang-orang
Tionghoa, dan masyarakat Hindu lainnya pun keluar dari kuil. Mereka keluar
dengan membawa sebagian perlengkapan acara yang ada di dalam kuil.
Beberapa kali sayup-sayup terdengar pembicaraan orang yang mengajak pergi ke
sungai. Saya pun menghampiri salah seorang pengunjung dan kembali mengajak
berkenalan. Setelah saling berkenalan dan mengobrol, saya jadi mengetahui
sebagian besar kegiatan di acara ini karena ia sudah beberapa kali mengikuti
acara ini.
Acara
selanjutnya adalah penusukan bagian tubuh dari peserta nazar yang dilakukan di
sungai. Saya pun menawarkan diri untuk pergi ke sungai bersama Indah, informan
sekaligus teman baru saya. Ketika akan meninggalkan kuil, saya menyinggahi rak
sepatu untuk mengambil sepatu saya, namun Indah melarangnya. “Loh,
kok gak boleh pakai sepatu?” saya
bertanya dengan mengerutkan dahi, “Ia.
Gak boleh. Nanti kita dikejar.” jawabnya, “Dikejar?
Sama siapa? Kok dikejar?” saya kembali
bertanya dengan penuh keheranan, “Udah,
nanti aja ku ceritakan. Tinggalkan aja sepatumu di sini. Nanti kita
ketinggalan rombongan ke sungai.” jawabnya sambil menarik tangan saya. Namun,
saya tetap mengambil sepatu dengan alasan takut hilang jika ditinggal.
Akhirnya, Indah pun mengizinkan dengan syarat saya tidak boleh memakainya
selama kegiatan berlangsung. Kemudian kami berjalan dengan rombongan masyarakat
Hindu dan pengunjung lainnya menuju ke sungai.
Ternyata
letak sungainya lumayan jauh. Sudah lebih dari 15 menit kami berjalan kaki dan
kaki saya mulai kepanasan karena berjalan di aspal. Terdengar juga
keluhan-keluhan orang lain yang kakinya sudah mulai pegal dan kepanasan. Tak
berbeda dengan saya, ternyata Indah yang sudah beberapa kali mengikuti acara
ini juga ikut mengeluh. Masyarakat yang rumahnya dilewati oleh rombongan ini,
berhamburan keluar untuk sekedar melihat atau bahkan ikut berjalan ke sungai. Selama
perjalanan, kami terus mengobrol sehingga kami menjadi semakin akrab. Dari
hasil obrolan, saya mengetahui bahwa ia adalah mahasiswi di salah satu
perguruan tinggi swasta di Medan dan dalam acara ini ia hanya ingin menyalurkan
hobi fotonya. Setibanya
di sungai, ternyata jumlah pengunjung semakin banyak dan jalan menjadi macet.
Hal ini diakibatkan oleh orang yang berkendara melintasi sungai tersebut
memperlambat lajunya untuk sekedar melihat, dan karena orang yang memarkirkan
kendaraannya secara sembarangan. Anak-anak SD yang sudah pulang sekolah juga
turut meramaikan acara tersebut dengan masih memakai seragam putih merahnya. Orang-orang
mengerumuni jembatan di pinggir jalan raya agar dapat melihat kegiatan yang
dilakukan di bawah.
Ritual
penusukan lidah akan segera dimulai. Para penazar dan orang-orang yang
mengambil bagian dalam ritual ini sudah berkumpul di pinggir sungai. Aroma dupa
yang diletakkan di antara sesajen kembali menusuk hidung saat doa-doa mulai
diucapkan. Ketika pendeta berdoa, satu persatu penazar turun ke sungai dan
mencelupkan seluruh tubuh ke dalam air sebanyak tiga kali. Sebagai orang
Kristen, saya jadi berpikir bahwa bagian ritual ini terlihat seperti ritual
saat Yohanes membaptis Yesus yang juga dilakukan di sungai. Orang pertama yang
turun ke sungai adalah salah satu laki-laki Tionghoa yang tadi sembahyang di
kuil. Dalam hati, saya bertanya “kok
bisa ya, orang Cina ikut bernazar?”. Setelah
semua penazar selesai mencelupkan tubuh, mereka kembali berkumpul di pinggir
sungai. Saat itu, semua penazar hanya melilitkan kain
putih atau kuning untuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Kening, lengan, dan
dada mereka diolesi serbuk putih yang juga beraroma seperti dupa. Namun, berbeda
dengan laki-laki Tionghoa, hanya kalungan bunga yang diberikan padanya dan
tidak ada olesan serbuk putih di tubuhnya. Mereka berbaris dan pendeta
mendoakannya satu per satu, yang diawali dengan laki-laki Tionghoa tersebut. Sesekali
masyarakat Hindu maupun pengunjung, terdengar berteriak seperti mengamini doa
pendeta tersebut. Tidak lama setelah pendeta mengucapkan doa, pelan-pelan ia
mulai trance. Ini terlihat dari pandangan
matanya yang kosong, badannya tegang dan mulai menari-nari sehingga membunyikan
kerincing-kerincing dari gelang kaki yang dipakai di kedua kakinya.
Laki-laki
Tionghoa itu sudah trance dan dia
dibopong oleh masyarakat Hindu lainnya untuk duduk di kursi. Sebuah rangkaian
besi besar dengan hiasan kalungan-kalungan bunga dan patung dewa, diletakkan di
atas bahunya. Kedua tangannya memegang kiri dan kanan rangkaian besi, seperti
hendak menyeimbangkan beratnya. Dalam keadaan trance ini, para laki-laki masyarakat Hindu lainnya mulai menusukkan
puluhan besi yang menyerupai busur panah ke tubuhnya. Wajahnya terlihat tidak
merasakan sakit sedikit pun, namun beberapa pengunjung mulai berteriak dan
mendesis seolah-olah merasakan sakitnya tusukan tersebut. Sesekali ia berdiri
dan menari-nari dengan beban dan tusukan besi pada bagian tubuhnya. Perhatian
pengunjung terfokus pada laki-laki Tionghoa tersebut, begitu juga dengan saya. Sehingga
tanpa disadari, ternyata beberapa penazar lainnya juga sudah trance dan sebatang besi berbentuk anak
panah menembus kedua pipi mereka. Mereka yang sudah trance, dipisahkan dari penazar lain yang sedang menunggu giliran.
Salah seorang penazar yang sedang didoakan pendeta terlihat akan segera trance, tubuhnya sudah mulai bergetar
kaku. Orang-orang kembali berteriak seperti mengamini doa dari pendeta.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya menari-nari maju mundur dan dengan pandangan
mata yang melotot, ia menyapu para pengunjung yang ada disana.
Saya
merasa takut pada saat itu karena saya belum pernah melihat orang trance secara langsung. Hari itu adalah
hari pertama saya melihat orang trance
secara langsung, dan bukan hanya satu orang saja yang trance. Saya merinding membayangkan hantu apa yang merasuki tubuh
mereka, kuntilanak kah? Begu ganjang[2]
kah? Atau hantu-hantu dari India sana?. Selain itu, rasa takut saya juga muncul
dari khayalan, kalau tiba-tiba penazar yang trance
tersebut berlari mengejar para pengunjung. Beberapa anak kecil terlihat menangis,
mungkin mereka juga ketakutan seperti saya. Berbeda dengan saya dan anak kecil
tersebut, beberapa orang terlihat sibuk mengambil gambar ritual dan berbaur
dengan kerumunan masyarakat Hindu-Tamil atau mendekati para penazar yang sudah trance. Seorang
anak kecil menjadi penazar terakhir yang trance
saat itu. Berdasarkan pembicaraan dari pengunjung saya dengar, anak tersebut
bernazar untuk kesembuhan orangtua-nya. Kini orangtua-nya sudah sembuh, jadi ia
harus melunasi nazarnya kepada dewa. Anak ini sepertinya masih kelas 5 atau 6
SD, namun tidak ada perbedaan tusukan. Ia tetap mendapat tusukan di pipi dengan
ukuran yang sama dengan laki-laki lainnya. Setelah selesai ditusuk, ia
digabungkan dengan penazar-penazar lainnya. Kini semua penazar sudah trance dan terdapat tusukan-tusukan besi
di tubuhnya.
Jam
menunjukkan pukul setengah 12 dan matahari menyengat dengan energi panasnya.
Para penazar kembali dibariskan, Raguwan dan beberapa masyarakat Hindu-Tamil
lainnya terlihat mengambil perlengkapan ritual yang terbuat dari rangkaian
bulu-bulu burung merak. Kelompok pemuda
Hindu-Tamil juga menyiapkan gendang, kerincing, dan toa. Selain itu, terlihat juga kelompok masyarakat
Tionghoa mempersiapkan gong dan baju barongsai. Pada barisan paling depan,
terlihat laki-laki Tionghoa dengan rangkaian besi dan tusukan besi-besi di
punggung, dada, lidah, dan pipinya. Ia adalah orang yang paling banyak mendapat
tusukan. Sedangkan penazar lainnya, hanya mendapat tusukan pada dada, pipi,
atau lidah saja.
Pawai
dimulai, tepat saat matahari mencapai puncaknya. Atraksi barongsai memimpin
pawai tersebut, disusul penazar, pendeta, kelompok pemusik Hindu-Tamil, dan
pengunjung lainnya. Pawai ini melewati jalan utama kota,
sehingga secara otomatis membuat kemacetan. Pada beberapa persimpangan,
terlihat polisi-polisi yang mengatur lalu lintas. Masyarakat setempat pun kembali
berhamburan dari rumahnya untuk sekedar melihat atau memoto pawai tersebut. Tak
jarang para pegawai kantor pun sejenak meninggalkan kerjaannya dan berdiri di
depan kantor untuk melihat pawai.
Vel
Murugan Vel… Murugan Vel…
Vel
Murugan Vel… Murugan Vel…
Begitulah
lantunan sebait lagu yang berulang kali dinyanyikan pada pawai ini. Lagu ini dilantukan
oleh kelompok pemusik dan masyarakat Hindu-Tamil, yang disertai dengan
tari-tarian sambil memikul rangkaian bulu-bulu burung merak. Selain itu,
pendeta juga tetap mengucapkan doa-doa seperti di sungai yang kembali disahut
oleh orang-orang yang ada disana. Para peserta nazar berjalan mengikuti
barongsai, sesekali mereka menari-nari, berjalan ke arah pengunjung, atau
menggeram dengan mata melotot seperti sedang marah. Beberapa kali terlihat masyarakat
Hindu lainnya menyiramkan air kunyit ke tubuh para penazar. Siraman ini
dilakukan ketika penazar menggeram seperti sedang marah.
Siang
itu, cuaca semakin panas dan pengunjung juga semakin ramai. Kaki saya sudah
tidak kuat lagi menahan panasnya aspal dan ingin sekali memakai sepatu, namun
Indah melarangnya. Selama berjalan, terkadang saya sengaja melewati aspal yang
basah karena siraman air kunyit atau genangan air hujan agar kaki tidak terlalu
kepanasan. Namun, itu justru membuat kaki saya melepuh. Beberapa kali saya dan
Indah berhenti untuk beristirahat dan memijet
kaki yang terbakar panasnya aspal. Mengikuti pawai ini membuat saya merasa
seperti sedang mengikuti prosesi jalan salib ketika Yesus akan disalibkan,
melelahkan dan menyiksa.
Salah
seorang penazar, tiba-tiba berlari menuju pengujung. Serentak mereka berteriak
ketakutan dan salah seorang masyarakat Hindu-Tamil berteriak “Lepaskan
sendalmu!!!”. Para pengunjung yang memakai sandal pun berlarian sambil berusaha
melepaskan sendalnya. Sementara itu, pendeta dan masyarakat Hindu-Tamil yang
lain mencoba menahan penazar tersebut dan kembali mengucapkan doa-doa. Tak
berapa lama kemudian, penazar kembali tenang dan berjalan mengikuti barisan
penazar lainnya. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari Indah, ini terjadi
karena pengunjung tersebut dalam keadaan kotor. Keadaan kotor yang dimaksud
adalah ketika kita menggunakan alas kaki atau perempuan yang sedang mensturasi.
Dewa adalah makhluk suci bagi masyarakat Hindu dan pada saat trance, para penazar sedang dimasuki oleh
roh dewa sehingga orang yang kotor tidak boleh mendekat.
Pawai
ini sesekali berhenti untuk mengistirahatkan penazar ataupun pengisi acara
lainnya. Ketika pawai berhenti, hanya penazar Tionghoa yang diberikan tempat
duduk. Mungkin karena rangkaian besi yang begitu berat atau karena tusukan yang
banyak ditubuhnya. Sedangkan penazar lainnya, masih tetap menari-nari atau
berjalan-jalan ke arah pengunjung. Lantunan lagu-lagu India pun terdengar dari toko-toko
milik masyarakat Hindu-Tamil yang terletak di pinggir jalan. Meskipun panasnya
aspal dan matahari terasa membakar, namun masyarakat Hindu-Tamil dan beberapa
pengunjung dalam pawai tersebut terlihat tertawa senang dan menari-nari.
Setelah
sejam lebih berjalan mengikuti pawai, akhirnya kami memasuki jalan menuju kuil.
Jalan menyempit karena pawai berbelok meninggalkan jalan utama kota tersebut.
Jalan sempit dan becek menandakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di kuil.
Para pemain barongsai dan kelompok musik pemuda Tamil juga masih semangat
beratraksi. Beberapa pengunjung yang tidak tahan dengan aroma bau khas pasar,
mempercepat langkahnya agar segera sampai ke kuil.
Sesampainya
di kuil, para pengunjung langsung berebutan untuk membersihkan kaki di kran air
halaman kuil. Para penazar pun dikumpulkan kembali dan diarahkan untuk masuk ke
dalam kuil. Di dalam kuil, mereka menyembah sebuah besi besar menyerupai panah yang
berada disalah satu ruangan kuil. Kemudian pendeta pun, melepaskan satu per
satu besi dari tubuh mereka dan mengeluarkan roh yang memasuki tubuh penazar.
Tidak ada bekas yang mencolok atau setetes darah dari tubuh mereka. Kini mereka
terlihat kembali normal dan saling berbicara satu sama lain, sepertinya
membicarakan kejadian yang baru saja mereka alami.
Ritual
ini kemudian diakhiri dengan jamuan makan siang bersama yang disediakan oleh
masyarakat Hindu-Tamil. Setiap pengunjung boleh mengambil nasi kuning yang
menjadi menu santap siang hari itu. Beberapa saat kemudian, Indah berpamitan
untuk pulang duluan dan meninggalkan saya. Saat sedang makan siang, Raguwan
menghampiri saya. Bajunya yang tadi putih bersih, kini menjadi kekuningan
akibat terkena siraman air kunyit saat pawai. Sambil menikmati makanan, kami
kembali mengobrol mengenai kegiatan ini. Obrolan tidak berlangsung lama karena
dia masih harus membereskan peralatan ritual tadi.
Obrolan
singkat yang memberikan pemahaman kepada saya mengenai acara ini. Disebut Panguni
Uthiram karena kegiatan dilakukan pada bulan Maret atau April, yaitu bulan Panguni
dalam kalender Tamil. Uthiram artinya hari dimana bulan bercahaya penuh
(purnama) dan pada malam itu memang terlihat bulan purnama. Bulan ini biasanya
dilakukan masyarakat untuk meminta permintaan kepada Dewa Murugan dan bernazar.
Acara ini merupakan ungkapan kegembiraan masyarakat Hindu-Tamil atas berkat
yang diberikan oleh Dewa Murugan. Vel
artinya adalah busur panah, senjata Dewa Murugan untuk memerangi para roh
pengganggu. Semua masyarakat dari segala etnis dapat mengikuti kegiatan ini. Namun,
harus mengikuti segala persyaratan yang ada pada masyarakat Hindu-Tamil agar ritual
dapat berlangsung secara baik dan hikmat. Beragam budaya dari etnis lain biasanya
juga turut mengisi acara, seperti: Barongsai dan kuda kepang.
Sumatera
Utara merupakan kota multi-etnis, sehingga membuat masyarakat berusaha untuk mempertahankan
identitasnya. Dalam mempertahankan identitas, suatu etnis harus mampu melakukan
penguatan dan peleburan identitas ketika berhubungan dengan etnis lainnya.
Kegiatan Panguni Uttitam ini merupakan salah satu cara masyarakat Hindu-Tamil
dalam mempertahankan identitasnya. Penguatan identitas terlihat ketika selama
ritual, doa dan nyanyian diucapkan pendeta dalam bahasa Hindi. Selain itu,
pakaian sebagian perempuan yang mengenakan kain saree juga dapat disebut sebagai penguatan identitas. Peleburan
identitas terlihat dari salah satu penazar yang merupakan etnis Tionghoa dan
atraksi barongsai. Keikutsertaan etnis lain dalam kegiatan ini merupakan cara
untuk mempererat kebersamaan dan memperkenalkan budaya Hindu-Tamil.
Referensi:
Barth,
Fredrik
1988 Kelompok
Etnik dan Batasannya. Terjemahan Nining I. Soesilo. Jakarta: UI-Press.
Jacobson,
David
1991 Reading
Ethnography. State University of New York Pres.
Wardle,
Huon, Paloma Gay y Blasco
200 How
to Read Ethnography. Taylor and Francis Publisher.