Total Tayangan Halaman

Kamis, 18 Mei 2017

Upacara Thaipusam/Panguni Uthiram di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara

Vel Murugan Vel… Murugan Vel…
Vel Murugan Vel… Murugan Vel…
Begitulah lantunan sebait lagu yang berulang kali dinyanyikan pada saat pawai di acara Panguni Uthiram.

Pagi itu langit mendung dan hujan rintik-rintik, aroma dupa begitu menusuk hidung meskipun saya masih jauh dari kuil. Dari kejauhan terlihat pengunjung lainnya yang sudah berkumpul di halaman sebuah kuil. Kuil tersebut bernama Shri Thendayudabani Bani Koil yang berada di Lubuk Pakam, Deli Serdang, Sumatera Utara. Berada satu kawasan dengan pasar tradisional, toko-toko klontong, dan bank yang setiap paginya ramai dikunjungi masyarakat. Begitu juga pada pagi itu, meskipun hujan rintik-rintik dan jalan becek, namun tidak mengurangi keramaian di tempat tersebut. Keramaian tidak hanya berasal dari penjual maupun pembeli di pasar, namun juga berasal dari peserta dan pengunjung yang ingin mengikuti acara di kuil.
Masyarakat Hindu-Tamil akan mengadakan acara Panguni Uthiram di kuil tersebut. Saat itu, saya baru pertama sekali mengikutinya dan masih belum tahu kegiatan apa saja yang akan dilakukan dalam acara ini. Berdasarkan informasi dari salah seorang dosen, acara ini adalah acara tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Hindu-Tamil. Salah satu kegiatannya adalah pembayaran nazar dengan menusuk lidah orang yang keinginannya telah dikabulkan oleh dewa. Sesampainya di kuil, saya pun langsung mengeluarkan kamera dan membungkusnya dengan plastik karena masih hujan. Di halaman kuil, ada beberapa patung-patung dewa yang dihias dengan kalungan-kalungan bunga. Ketika sedang mengambil foto, tiba-tiba seorang ibu dengan memakai saree[1] datang menghampiri saya dan berkata: “Nak, sepatunya dilepas ya. Nanti letakkan aja di rak itu” ucapnya sambil menunjuk pada rak sepatu yang berada dekat gerbang kuil. “Oh, ia buk.” saya menjawab dan segera melepaskan sepatu. Saya pun baru menyadari bahwa mampir semua orang yang ada di sana tidak menggunakan alas kaki. Hal ini menimbulkan pertanyaan dalam hati saya, namun bunyi lonceng dan barisan laki-laki yang keluar dari dalam kuil mengalihkan perhatian saya.
Seorang lelaki mengenakan kain orange yang dililitkan pada pinggangnya dan tanpa mengenakan atasan, memimpin barisan tersebut. Tangan kirinya memegang lonceng dan tangan kanannya memegang piring kuningan yang terdapat api di tengahnya. Kemudian ia berhenti di halaman tengah kuil, di depan salah satu patung dewa (Ganesa) yang menyerupai seekor gajah yang sedang berdiri. Sambil membungkuk dan mengucapkan doa-doa (sembahyang), ia membunyikan lonceng dan memutar piring berisi api dihadapan patung tersebut. Di barisan belakangnya terlihat anak-anak dan orang dewasa, namun mereka hanya diam berdiri dengan posisi telapak tangan disatukan seperti memohon. Dalam hati saya berkata, “mungkin orang yang di belakang ini yang bernazar.”
Hujan sudah berhenti dan kini semakin banyak pengunjung yang berdatangan. Sebagian pengunjung terlihat seperti penduduk setempat, terlihat dari pakaian mereka yang hanya mengenakan celana pendek, kaos oblong, atau daster. Bahkan ada beberapa ibu-ibu yang masih memegang plastik belanjaan. Selain itu, ada juga pengunjung yang sepertinya berasal dari media cetak atau elektronik. Terlihat dari tanda pengenal yang mereka kalungkan di leher atau seragam yang bertuliskan nama perusahaan media cetak maupun elektronik.
Semaraknya hiasan dalam kuil, mendorong saya untuk masuk dan meninggalkan ritual sembahyang yang sedang dilakukan di luar. Bangunan kuil ini melebar dan pada kedua ujungnya, terdapat ruangan tanpa pintu yang berisi patung dewa dan besi besar menyerupai panah. Terdapat beberapa piring-piring aluminium yang berisi sesajen diletakkan di lantai. Beras, bunga, buah-buahan, rempah-rempah, kacang-kacangan dan lainnya menjadi pengisi piring-piring tersebut. Di dalam kuil juga ramai dengan pengunjung yang mengambil foto atau panitia acara yang merapikan sesajen dan perlengkapan acara lainnya.
Jarum jam menunjuk ke angka delapan ketika barisan orang-orang dari luar masuk ke dalam kuil. Ternyata persiapan acara di dalam belum selesai, sehingga semua orang masih harus menunggu. Ketika menunggu, saya menghampiri salah seorang laki-laki yang tadi ikut dalam barisan. Setelah berkenalan, saya kemudian mulai menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan acara tersebut. Laki-laki itu bernama Raguwan, ia mengatakan bahwa sebagian orang yang berbaris tadi adalah penazar yang nanti akan di tusuk bagian tubuhnya. Sedangkan ia dan yang lainnya hanyalah sebagai pelengkap acara tersebut. Tahun ini (2011), penazarnya berjumlah 13 orang dan semuanya laki-laki. Berbeda dengan tahun sebelumnya, yang salah satu penazarnya ada perempuan.  Kemudian, ia menunjukkan pendeta dan pengurus kuil, dan juga seorang pendeta dari Malaysia yang memang sengaja diundang menjadi pemimpin acara tersebut.
Belum lama ngobrol, para pendeta dan pengurus kuil duduk di sekitar sesajen. Pertanda acara akan kembali dimulai dan saya pun harus mengakhiri obrolan. Saya dan para pengunjung duduk membaur dengan orang-orang Hindu-Tamil lainnya ditempat yang sudah disediakan. Selama sembahyang, kami diminta untuk tidak membelakangi patung para dewa yang ada di dalam kuil. Kemudian, pendeta dari Malaysia mulai sembahyang sambil memutar-mutar wadah kuningan yang berisi api ke arah salah satu patung dewa. Kata-kata dalam sembahyang tidak diucapkan dengan bahasa Indonesia, melainkan bahasa Hindi, informansi ini saya peroleh dari wawancara singkat sebelumnya.
Acara ini sepertinya kurang khusyuk karena kehadiran pengunjung yang terlalu sibuk untuk mengambil gambar atau merekam kegiatan tersebut. Selama pendeta sembahyang, beberapa kali cahaya flash kamera mengarah ke pendeta. Beberapa orang terlihat terganggu, sehingga memberikan pandangan sinis pada pemilik kamera tersebut. Selain itu, beberapa pengunjung juga masih ada yang membelakangi patung dewa ketika hendak mengambil foto patung dewa lainnya. Ini membuat beberapa masyarakat Hindu-Tamil kerap kali mengingatkan, agar tidak membelakangi atau mengambil foto patung dewa kepada para pengunjung.
Setelah pendeta selesai sembahyang, beberapa orang dengan seragam merah tiba-tiba masuk ke kuil. Berdasarkan fisiknya yang bermata sipit dan berkulit putih, saya dapat mengetahui kalau mereka adalah keturunan Tionghoa. Masing-masing orang memegang dupa dan sembahyang pada salah satu patung dewa. Saya sempat terkejut juga melihat kehadiran mereka di acara ini karena sepengetahuan saya, acara ini adalah milik masyarakat Hindu-Tamil. Kejadian ini kembali menimbulkan pertanyaan dalam hati saya. Setelah mereka selesai sembahyang, mereka bergabung dengan masyarakat Hindu-Tamil lainnya. Orang-orang yang bernazar dan pelengkap acara ini kemudian duduk di depan pendeta dan didoakan satu per satu.
Setelah kegiatan tersebut selesai, orang-orang kembali sibuk mempersiapkan acara selanjutnya. Beberapa orang terlihat mengangkat besi-besi yang menyerupai busur panah, rangkaian bulu-bulu burung merak, dan bunga. Para pengunjung mulai keluar dari kuil dan mengambil kesibukan masing-masing. Sementara itu, saya masih bertahan dalam kuil, mencari-cari orang yang tadi saya wawancarai. Tak lama kemudian saya kembali melihatnya, namun ia sedang mengangkat rangkaian bulu-bulu burung merak sambil berjalan keluar. Sepertinya ia masih sangat sibuk, saya menggumam dalam hati.
Hari sudah cerah ketika saya keluar dari kuil. Namun, pengunjung sudah tidak seramai saat pagi tadi. Tak lama kemudian, para peserta nazar, pendeta, orang-orang Tionghoa, dan masyarakat Hindu lainnya pun keluar dari kuil. Mereka keluar dengan membawa sebagian perlengkapan acara yang ada di dalam kuil. Beberapa kali sayup-sayup terdengar pembicaraan orang yang mengajak pergi ke sungai. Saya pun menghampiri salah seorang pengunjung dan kembali mengajak berkenalan. Setelah saling berkenalan dan mengobrol, saya jadi mengetahui sebagian besar kegiatan di acara ini karena ia sudah beberapa kali mengikuti acara ini.
Acara selanjutnya adalah penusukan bagian tubuh dari peserta nazar yang dilakukan di sungai. Saya pun menawarkan diri untuk pergi ke sungai bersama Indah, informan sekaligus teman baru saya. Ketika akan meninggalkan kuil, saya menyinggahi rak sepatu untuk mengambil sepatu saya, namun Indah melarangnya. “Loh, kok gak boleh pakai sepatu?” saya bertanya dengan mengerutkan dahi, “Ia. Gak boleh. Nanti kita dikejar.” jawabnya, “Dikejar? Sama siapa? Kok dikejar?” saya kembali bertanya dengan penuh keheranan, “Udah, nanti aja ku ceritakan. Tinggalkan aja sepatumu di sini. Nanti kita ketinggalan rombongan ke sungai.” jawabnya sambil menarik tangan saya. Namun, saya tetap mengambil sepatu dengan alasan takut hilang jika ditinggal. Akhirnya, Indah pun mengizinkan dengan syarat saya tidak boleh memakainya selama kegiatan berlangsung. Kemudian kami berjalan dengan rombongan masyarakat Hindu dan pengunjung lainnya menuju ke sungai.
Ternyata letak sungainya lumayan jauh. Sudah lebih dari 15 menit kami berjalan kaki dan kaki saya mulai kepanasan karena berjalan di aspal. Terdengar juga keluhan-keluhan orang lain yang kakinya sudah mulai pegal dan kepanasan. Tak berbeda dengan saya, ternyata Indah yang sudah beberapa kali mengikuti acara ini juga ikut mengeluh. Masyarakat yang rumahnya dilewati oleh rombongan ini, berhamburan keluar untuk sekedar melihat atau bahkan ikut berjalan ke sungai. Selama perjalanan, kami terus mengobrol sehingga kami menjadi semakin akrab. Dari hasil obrolan, saya mengetahui bahwa ia adalah mahasiswi di salah satu perguruan tinggi swasta di Medan dan dalam acara ini ia hanya ingin menyalurkan hobi fotonya. Setibanya di sungai, ternyata jumlah pengunjung semakin banyak dan jalan menjadi macet. Hal ini diakibatkan oleh orang yang berkendara melintasi sungai tersebut memperlambat lajunya untuk sekedar melihat, dan karena orang yang memarkirkan kendaraannya secara sembarangan. Anak-anak SD yang sudah pulang sekolah juga turut meramaikan acara tersebut dengan masih memakai seragam putih merahnya. Orang-orang mengerumuni jembatan di pinggir jalan raya agar dapat melihat kegiatan yang dilakukan di bawah.
Ritual penusukan lidah akan segera dimulai. Para penazar dan orang-orang yang mengambil bagian dalam ritual ini sudah berkumpul di pinggir sungai. Aroma dupa yang diletakkan di antara sesajen kembali menusuk hidung saat doa-doa mulai diucapkan. Ketika pendeta berdoa, satu persatu penazar turun ke sungai dan mencelupkan seluruh tubuh ke dalam air sebanyak tiga kali. Sebagai orang Kristen, saya jadi berpikir bahwa bagian ritual ini terlihat seperti ritual saat Yohanes membaptis Yesus yang juga dilakukan di sungai. Orang pertama yang turun ke sungai adalah salah satu laki-laki Tionghoa yang tadi sembahyang di kuil. Dalam hati, saya bertanya “kok bisa ya, orang Cina ikut bernazar?”. Setelah semua penazar selesai mencelupkan tubuh, mereka kembali berkumpul di pinggir sungai. Saat itu, semua penazar hanya melilitkan kain putih atau kuning untuk menutupi bagian pinggang ke bawah. Kening, lengan, dan dada mereka diolesi serbuk putih yang juga beraroma seperti dupa. Namun, berbeda dengan laki-laki Tionghoa, hanya kalungan bunga yang diberikan padanya dan tidak ada olesan serbuk putih di tubuhnya. Mereka berbaris dan pendeta mendoakannya satu per satu, yang diawali dengan laki-laki Tionghoa tersebut. Sesekali masyarakat Hindu maupun pengunjung, terdengar berteriak seperti mengamini doa pendeta tersebut. Tidak lama setelah pendeta mengucapkan doa, pelan-pelan ia mulai trance. Ini terlihat dari pandangan matanya yang kosong, badannya tegang dan mulai menari-nari sehingga membunyikan kerincing-kerincing dari gelang kaki yang dipakai di kedua kakinya.
Laki-laki Tionghoa itu sudah trance dan dia dibopong oleh masyarakat Hindu lainnya untuk duduk di kursi. Sebuah rangkaian besi besar dengan hiasan kalungan-kalungan bunga dan patung dewa, diletakkan di atas bahunya. Kedua tangannya memegang kiri dan kanan rangkaian besi, seperti hendak menyeimbangkan beratnya. Dalam keadaan trance ini, para laki-laki masyarakat Hindu lainnya mulai menusukkan puluhan besi yang menyerupai busur panah ke tubuhnya. Wajahnya terlihat tidak merasakan sakit sedikit pun, namun beberapa pengunjung mulai berteriak dan mendesis seolah-olah merasakan sakitnya tusukan tersebut. Sesekali ia berdiri dan menari-nari dengan beban dan tusukan besi pada bagian tubuhnya. Perhatian pengunjung terfokus pada laki-laki Tionghoa tersebut, begitu juga dengan saya. Sehingga tanpa disadari, ternyata beberapa penazar lainnya juga sudah trance dan sebatang besi berbentuk anak panah menembus kedua pipi mereka. Mereka yang sudah trance, dipisahkan dari penazar lain yang sedang menunggu giliran. Salah seorang penazar yang sedang didoakan pendeta terlihat akan segera trance, tubuhnya sudah mulai bergetar kaku. Orang-orang kembali berteriak seperti mengamini doa dari pendeta. Beberapa saat kemudian, tubuhnya menari-nari maju mundur dan dengan pandangan mata yang melotot, ia menyapu para pengunjung yang ada disana.
Saya merasa takut pada saat itu karena saya belum pernah melihat orang trance secara langsung. Hari itu adalah hari pertama saya melihat orang trance secara langsung, dan bukan hanya satu orang saja yang trance. Saya merinding membayangkan hantu apa yang merasuki tubuh mereka, kuntilanak kah? Begu ganjang[2] kah? Atau hantu-hantu dari India sana?. Selain itu, rasa takut saya juga muncul dari khayalan, kalau tiba-tiba penazar yang trance tersebut berlari mengejar para pengunjung. Beberapa anak kecil terlihat menangis, mungkin mereka juga ketakutan seperti saya. Berbeda dengan saya dan anak kecil tersebut, beberapa orang terlihat sibuk mengambil gambar ritual dan berbaur dengan kerumunan masyarakat Hindu-Tamil atau mendekati para penazar yang sudah tranceSeorang anak kecil menjadi penazar terakhir yang trance saat itu. Berdasarkan pembicaraan dari pengunjung saya dengar, anak tersebut bernazar untuk kesembuhan orangtua-nya. Kini orangtua-nya sudah sembuh, jadi ia harus melunasi nazarnya kepada dewa. Anak ini sepertinya masih kelas 5 atau 6 SD, namun tidak ada perbedaan tusukan. Ia tetap mendapat tusukan di pipi dengan ukuran yang sama dengan laki-laki lainnya. Setelah selesai ditusuk, ia digabungkan dengan penazar-penazar lainnya. Kini semua penazar sudah trance dan terdapat tusukan-tusukan besi di tubuhnya.
Jam menunjukkan pukul setengah 12 dan matahari menyengat dengan energi panasnya. Para penazar kembali dibariskan, Raguwan dan beberapa masyarakat Hindu-Tamil lainnya terlihat mengambil perlengkapan ritual yang terbuat dari rangkaian bulu-bulu burung merak. Kelompok pemuda  Hindu-Tamil juga menyiapkan gendang, kerincing, dan toa. Selain itu, terlihat juga kelompok masyarakat Tionghoa mempersiapkan gong dan baju barongsai. Pada barisan paling depan, terlihat laki-laki Tionghoa dengan rangkaian besi dan tusukan besi-besi di punggung, dada, lidah, dan pipinya. Ia adalah orang yang paling banyak mendapat tusukan. Sedangkan penazar lainnya, hanya mendapat tusukan pada dada, pipi, atau lidah saja.
Pawai dimulai, tepat saat matahari mencapai puncaknya. Atraksi barongsai memimpin pawai tersebut, disusul penazar, pendeta, kelompok pemusik Hindu-Tamil, dan pengunjung lainnya. Pawai ini melewati jalan utama kota, sehingga secara otomatis membuat kemacetan. Pada beberapa persimpangan, terlihat polisi-polisi yang mengatur lalu lintas. Masyarakat setempat pun kembali berhamburan dari rumahnya untuk sekedar melihat atau memoto pawai tersebut. Tak jarang para pegawai kantor pun sejenak meninggalkan kerjaannya dan berdiri di depan kantor untuk melihat pawai.
Vel Murugan Vel… Murugan Vel…
Vel Murugan Vel… Murugan Vel…
Begitulah lantunan sebait lagu yang berulang kali dinyanyikan pada pawai ini. Lagu ini dilantukan oleh kelompok pemusik dan masyarakat Hindu-Tamil, yang disertai dengan tari-tarian sambil memikul rangkaian bulu-bulu burung merak. Selain itu, pendeta juga tetap mengucapkan doa-doa seperti di sungai yang kembali disahut oleh orang-orang yang ada disana. Para peserta nazar berjalan mengikuti barongsai, sesekali mereka menari-nari, berjalan ke arah pengunjung, atau menggeram dengan mata melotot seperti sedang marah. Beberapa kali terlihat masyarakat Hindu lainnya menyiramkan air kunyit ke tubuh para penazar. Siraman ini dilakukan ketika penazar menggeram seperti sedang marah.
Siang itu, cuaca semakin panas dan pengunjung juga semakin ramai. Kaki saya sudah tidak kuat lagi menahan panasnya aspal dan ingin sekali memakai sepatu, namun Indah melarangnya. Selama berjalan, terkadang saya sengaja melewati aspal yang basah karena siraman air kunyit atau genangan air hujan agar kaki tidak terlalu kepanasan. Namun, itu justru membuat kaki saya melepuh. Beberapa kali saya dan Indah berhenti untuk beristirahat dan memijet kaki yang terbakar panasnya aspal. Mengikuti pawai ini membuat saya merasa seperti sedang mengikuti prosesi jalan salib ketika Yesus akan disalibkan, melelahkan dan menyiksa.
Salah seorang penazar, tiba-tiba berlari menuju pengujung. Serentak mereka berteriak ketakutan dan salah seorang masyarakat Hindu-Tamil berteriak “Lepaskan sendalmu!!!”. Para pengunjung yang memakai sandal pun berlarian sambil berusaha melepaskan sendalnya. Sementara itu, pendeta dan masyarakat Hindu-Tamil yang lain mencoba menahan penazar tersebut dan kembali mengucapkan doa-doa. Tak berapa lama kemudian, penazar kembali tenang dan berjalan mengikuti barisan penazar lainnya. Berdasarkan informasi yang saya dapat dari Indah, ini terjadi karena pengunjung tersebut dalam keadaan kotor. Keadaan kotor yang dimaksud adalah ketika kita menggunakan alas kaki atau perempuan yang sedang mensturasi. Dewa adalah makhluk suci bagi masyarakat Hindu dan pada saat trance, para penazar sedang dimasuki oleh roh dewa sehingga orang yang kotor tidak boleh mendekat.
Pawai ini sesekali berhenti untuk mengistirahatkan penazar ataupun pengisi acara lainnya. Ketika pawai berhenti, hanya penazar Tionghoa yang diberikan tempat duduk. Mungkin karena rangkaian besi yang begitu berat atau karena tusukan yang banyak ditubuhnya. Sedangkan penazar lainnya, masih tetap menari-nari atau berjalan-jalan ke arah pengunjung. Lantunan lagu-lagu India pun terdengar dari toko-toko milik masyarakat Hindu-Tamil yang terletak di pinggir jalan. Meskipun panasnya aspal dan matahari terasa membakar, namun masyarakat Hindu-Tamil dan beberapa pengunjung dalam pawai tersebut terlihat tertawa senang dan menari-nari.
Setelah sejam lebih berjalan mengikuti pawai, akhirnya kami memasuki jalan menuju kuil. Jalan menyempit karena pawai berbelok meninggalkan jalan utama kota tersebut. Jalan sempit dan becek menandakan bahwa sebentar lagi kami akan sampai di kuil. Para pemain barongsai dan kelompok musik pemuda Tamil juga masih semangat beratraksi. Beberapa pengunjung yang tidak tahan dengan aroma bau khas pasar, mempercepat langkahnya agar segera sampai ke kuil.
Sesampainya di kuil, para pengunjung langsung berebutan untuk membersihkan kaki di kran air halaman kuil. Para penazar pun dikumpulkan kembali dan diarahkan untuk masuk ke dalam kuil. Di dalam kuil, mereka menyembah sebuah besi besar menyerupai panah yang berada disalah satu ruangan kuil. Kemudian pendeta pun, melepaskan satu per satu besi dari tubuh mereka dan mengeluarkan roh yang memasuki tubuh penazar. Tidak ada bekas yang mencolok atau setetes darah dari tubuh mereka. Kini mereka terlihat kembali normal dan saling berbicara satu sama lain, sepertinya membicarakan kejadian yang baru saja mereka alami.
Ritual ini kemudian diakhiri dengan jamuan makan siang bersama yang disediakan oleh masyarakat Hindu-Tamil. Setiap pengunjung boleh mengambil nasi kuning yang menjadi menu santap siang hari itu. Beberapa saat kemudian, Indah berpamitan untuk pulang duluan dan meninggalkan saya. Saat sedang makan siang, Raguwan menghampiri saya. Bajunya yang tadi putih bersih, kini menjadi kekuningan akibat terkena siraman air kunyit saat pawai. Sambil menikmati makanan, kami kembali mengobrol mengenai kegiatan ini. Obrolan tidak berlangsung lama karena dia masih harus membereskan peralatan ritual tadi.
Obrolan singkat yang memberikan pemahaman kepada saya mengenai acara ini. Disebut Panguni Uthiram karena kegiatan dilakukan pada bulan Maret atau April, yaitu bulan Panguni dalam kalender Tamil. Uthiram artinya hari dimana bulan bercahaya penuh (purnama) dan pada malam itu memang terlihat bulan purnama. Bulan ini biasanya dilakukan masyarakat untuk meminta permintaan kepada Dewa Murugan dan bernazar. Acara ini merupakan ungkapan kegembiraan masyarakat Hindu-Tamil atas berkat yang diberikan oleh Dewa Murugan. Vel artinya adalah busur panah, senjata Dewa Murugan untuk memerangi para roh pengganggu. Semua masyarakat dari segala etnis dapat mengikuti kegiatan ini. Namun, harus mengikuti segala persyaratan yang ada pada masyarakat Hindu-Tamil agar ritual dapat berlangsung secara baik dan hikmat. Beragam budaya dari etnis lain biasanya juga turut mengisi acara, seperti: Barongsai dan kuda kepang.
Sumatera Utara merupakan kota multi-etnis, sehingga membuat masyarakat berusaha untuk mempertahankan identitasnya. Dalam mempertahankan identitas, suatu etnis harus mampu melakukan penguatan dan peleburan identitas ketika berhubungan dengan etnis lainnya. Kegiatan Panguni Uttitam ini merupakan salah satu cara masyarakat Hindu-Tamil dalam mempertahankan identitasnya. Penguatan identitas terlihat ketika selama ritual, doa dan nyanyian diucapkan pendeta dalam bahasa Hindi. Selain itu, pakaian sebagian perempuan yang mengenakan kain saree juga dapat disebut sebagai penguatan identitas. Peleburan identitas terlihat dari salah satu penazar yang merupakan etnis Tionghoa dan atraksi barongsai. Keikutsertaan etnis lain dalam kegiatan ini merupakan cara untuk mempererat kebersamaan dan memperkenalkan budaya Hindu-Tamil.


Referensi:
Barth, Fredrik
1988   Kelompok Etnik dan Batasannya. Terjemahan Nining I. Soesilo. Jakarta: UI-Press.
Jacobson, David
1991   Reading Ethnography. State University of New York Pres.
Wardle, Huon, Paloma Gay y Blasco
200     How to Read Ethnography. Taylor and Francis Publisher.

[1] Saree adalah baju tradisional India yang biasanya dipakai pada acara-acara tertentu.
[2] Begu ganjang adalah makhluk halus bertubuh tinggi yang ditakuti oleh masyarakat Batak.

Pulau Seribu Kubur "Penyesuaian Tradisi Penguburan Kedua di Pulau Samosir, Sumatera Utara"

ABSTRAK

Pulau Samosir mengemban citra sebagai pusat budaya dari masyarakat Batak Toba. Karakter yang membedakan pulau ini dengan daerah Batak Toba yang lain adalah masih kentalnya tradisi penguburan kedua yakni keberadaan kubur batu (batu na pir) maupun tambak serta upacara mangongkal holi yang masih sering digelar masyarakatnya hingga kini. Baik upacara mangongkal holi dan pembangunan kubur batu memiliki akar pada kepercayaan lama orang Batak terhadap leluhur serta mendasarkan pada sistem sosial ekonomi dan material tradisional. Akan tetapi kondisi saat ini telah memunculkan penyesuaian yang dilatarbelakangi oleh perubahan sistem sosial, politik, ekonomi, dan keagamaan masyarakat. Sehingga dalam tesis ini saya mempertanyakan bagaimana perubahan-perubahan yang saat ini terjadi di Samosir mempengaruhi tradisi penguburan kedua yang mereka miliki?
Pertanyaan tersebut saya jawab dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data yang diperoleh dari wawancara, observasi partisipasi, dan kepustakaan difokuskan pada sejarah dan ekspresi-ekspresi praktik tradisi penguburan kedua masyarakat Batak Toba kini. Kemudian, data-data tersebut dianalisis dengan menggunakan kerangka berpikir simbolik untuk melihat bentuk-bentuk simbol yang muncul pada praktik tradisi dan pesan apa yang ingin disampaikan masyarakat berdasarkan simbol-simbol tersebut.
Pada akhir tesis ini saya berkesimpulan bahwa dalam praktik tradisi penguburan kedua orang Batak, baik ritual mangongkal holi maupun pembangunan tambak, masyarakat Batak Toba di Samosir mampu mengakomodasi dan menegosiasikan bentuk-bentuk “yang lama” dengan “yang baru”, meskipun keduanya tidak dapat ditarik dalam batas yang tegas. Dalam praktik ritual maupun material kini, apa yang dianggap sebagai wujud adat dan tradisional tidak akan baik tanpa diberi nuansa modernitas, begitu juga dengan apa yang dipandang modern akan kehilangan makna bila tidak ada unsur tradisional Bataknya.
Kata Kunci: Penguburan kedua, tradisi, perubahan sosial ekonomi, Samosir.