21 september 2011, 1 bulan sebelum hari H Penyambutan Mahasiswa Baru 2011 . Kerja keras panitia semakin dituntut untuk mensukseskan acara tersebut . Bagi kita panitia, saat seperti ini memang bukanah suatu proses yang mudah untuk dilakukan. Di sela-sela kesibukan belajar dan tugas dikampus, kita juga harus mengurus segala sesuatu keperluan untuk acara penyambutan bagi adik - adik kita, Mahasiswa Antropologi 2011 . Pada saat - saat seperti ini tidak jarang satu per satu panitia mulai tumbang (sakit), namun semangat adik -adik mahasiswa baru yang tinggi membuat panitia kembali bangkit dan semakin gigih untuk bekerja .
Sejauh ini, perlahan tapi pasti, panitia optimis acara tersebut dapat berjalan dengan baik dengan adanya bantuan semangat bagi kita panitia dari abang dan kakak senior, SC, alumni, dosen, maupun teman-teman .
Kerjasama dan keperdulian adalah dua kata kunci bagi kita panitia untuk mensukseskan acara tersebut.
SEMANGATTT buat Panitia PMB 2011 !!! :)
Total Tayangan Halaman
Rabu, 21 September 2011
Kamis, 16 Juni 2011
Upacara Pernikahan dan Pembagian Warisan Masyarakat Hindu-Bali, Langkat
Upacara perkawinan yang dilakukan pada Masyarakat Hindu Bali juga masih sama seperti yang dilakukan masyarakat Hindu yang berdomisili di Bali. Umur pernikahan yang biasa dilakukan di Kampung Bali ini adalah 25 tahun. Tidak ada batasan yang diberikan orangtua pada anaknya, baik laki – laki ataupun perempuan. Upacara pernikahan yang dilakukan apabila menikah dengan sesama Hindu adalah (1) Mabya Kala, yaitu upacara untuk mengusir roh – roh jahat pada kedua calon mempelai, (2) mencari hari baik, (3) acara di latar, kemudian kerumah dan terakhir masuk kedalan sanggah . Namun jika mereka menikah dengan laki – laki atau perempuan yang berbeda agama, maka mereka melewati bebepata tahapan, yaitu sebelum acara pernikahan diadakan pembelajaran – pembelajaran tentang agama Hindu di dalam pura pada calon pengantin yang biasanya memakan waktu kurang lebih 3 bulan, hal ini bertujuan agar calon mempelai tidak hanya mencintai calom pasangannya namun juga mencintai agama Hindu.
Setelah selesai melewati pembelajaran tersebut maka kemudian diadakan Upacara Sudiwidani, yaitu upacara mensucikan kata – kata, kemudian pemangku akan mengucapkan mantra – mantra, selanjutnya calon pengantin akan mandi dengan air suci yang telah diucapkan mantra – mantra oleh pemangku. Jika pindah ke agama Hindu, maka ia harus menuliskan surat yang ia tulis tangan diberi materai dan ditanda tangani oleh pengantin yang pindah agama dan juga pemangku. Kemudian mereka akan melakukan pernikahan didalam pura dan disaksikan oleh penduduk Hindu Bali yang ada ditempat tersebut . Untuk pengurusan akte nikah, pengantin harus pergi ke catatan sipil agar pernikahannya dapat diakui oleh negara .
“Tidak ada mahar dan akte nikah, cuma surat pernyataan yang kami tulis tangan saja.” Jelas Ni Made Sriwati, seorang wanita berumur 26 tahun yang berasal dari agama Islam suku Jawa dan menikah dengan laki – laki Hindu Bali . Mereka sudah memiliki dua orang anak, namun sampai sekarang belum juga mengurus akte nikah ke catatan sipil, bagi mereka akte nikah tidak terlalu penting asal surat pernyataan tersebut masih ada dan dapat ditunjukkan sebagai bukti bahwa mereka benar – benar pasangan suami isteri yang sah .
Ni Made Sriwati juga berkata bahwa ia masih kurang memahami ritual dan upacara apasaja yang ada di agama Hindu Bali, bahkan ia tidak ingat apasaja nama upacara yang ia lalui ketika hendak menikah . Berdasarkan dari hasil dokumantasi foto – foto pernikahannya, mereka menggunakan adat jawa dan juga Hindu Bali, namun yang pertama sekali adalah adat jawa.
Ketika suami Ni Made melamarnya secara adat Jawa, Ni Made mendapat mahar berupa kalung . Namun ketika lamaran secara Hindu, Ni Made tidak diberi mahar. Dalam agama Hindu Bali , apabila si laki – laki sudah datang 3 kali dan telah lamaran, maka ia dapat membawa pulang perempuan tersebut . Meskipun demikian, di Kampung Bali ini belum pernah ada pasangan yang cerai . Apabila mereka sudah tidak cocok lagi, maka si suami akan memulangkan isterinya kerumah orangtua isterinya tanpa adanya perceraian .
Pembagian hak waris pada penduduk Hindu Bali diserahkan seluruhnya pada anak laki – laki, namun jika anak laki – laki tersebut sudah pindah agama maka ia sama sekali tidak akan mendapat hak waris dan orangtua akan lepas tangan terhadap kelangsungan hidup anak laki – laki tersebut. Anak laki – laki paling kecil akan mendapat warisan yang paling banyak, namun jika keluarga tersebut tidak memiliki anak laki – laki maka akan dicari sentano, yaitu saudara laki – laki dari suami dan kepadanyalah warisan akan diserahkan . Warisan yang biasa diserahkan pada anak laki – laki adalah tanah dan terkadang anak perempuan juga mendapat warisan berupa uang .
Sistem Kekerabatan Masyarakat Hindu-Bali, Langkat
“Sapaan yang kami gunakan sehari – hari yah masih sama seperti sapaan yang di Bali.” Jawaban yang sama kami dapat jika bertanya tentang sapaan yang biasa penduduk Hindu Bali gunakan dalam berkomunikasi sehari – hari . Jika pada masyarakat Jawa ada pemberian nama berdasarkan hari kelahiran, maka pada masyarakat Hindu Bali ada pemberian nama berdasarkan urutan kelahiran, yaitu :
a) Pada anak pertama : Wayan / Putu
b) Pada anak kedua : Made / Kadek / Nengah
c) Pada anak ketiga : Nyoman / Komang
d) Pada anak keempat : Ketut
e) Pada anak kelima : kembali kesebutan yang pertama
Pemberian nama pada laki – laki diawali dengan “I” dan perempuan “Ni”, misalnya nama perempuan anak kedua : Ni Made Saraswaty, dan pemberian nama pada anak laki – laki yang pertama : I Putu Sugiono . Ada juga sapaan yang biasa digunakan pada bapak : Bape, ibu : Memi / Meme, abang : Bli, kakak atau adik : Gek / Mbok, nenek : Dadong, kakek : Kaki.
Dalam garis keturunan, masyarakat Hindu Bali menganut sistem Patrilineal yaitu garis keturunan berdasarkan laki – laki. Masyarakat Hindu Bali dapat menikah dengan sepupu perempuannya (misan) yang merupakan anak dari adik atau kakak ibu. Namun, ia tidak dapat menikah dengan sepupu yang dari bapak kerena itu merupakan sepupu sedarahnya. Dalam masyarakat Hindu Bali, anak perempuan diberikan kebebasan dalam memilih pasangan hidupnya namun tidak bagi anak laki – laki kerena kelak anak laki – lakilah yang akan meneruskan garis keturunan pada generasi – generasi selanjutnya. Sistem kekerabatan yang terlihat di Kampung Bali masih terasa kental karena dalam berkomunikasi dengan sesamanya, mereka menggunakan nama urutan kelahiran yang mereka anggap lebih sopan.
Organisasi Sosial Masyarakat Hindu-Bali di Kampung Bali, Langkat .
Sukaduka adalah salah satu dari organisasi sosial yang ada pada masyarakat Hindu Bali yang tinggal di Kampung Bali. Organisasi ini sudah berdiri sangat lama dan organisasi inilah yang membantu pembangunan pura pada saat pertama sekali. Organisasi Sukaduka ini di ketuai oleh anak dari bapak wakil pemangku Kampung Bali, nama ketuanya adalah I Nengah Karyadi. Pada saat hendak melakukan wawancara dengan I Nengah Karyadi, beliau tidak mau keluar karena malu sehingga kami hanya berwawancara dengan isterinya. Fungsi dari organisasi ini adalah untuk mengurus masyarakat, mengurus pura, dan juga mengurus biaya – biaya yang dibutuhkan untuk keperluan pura. Pemilihan ketua Sukaduka ini berdasarkan permintaan warga yang kemudian di setujui dan disahkan oleh ketua Sukaduka yang ada di Medan.
Arisan adalah kegiatan perempuan yang rutin dilakukan setiap minggu, namun arisan di Kampung Bali ini hanya berupa penyetoran uang setiap hari minggu pada kadus dan tidak ditentukan nominal yang harus diberikan . Berbeda dengan arisan yang sering kita lihat dikota, jika sedang mengadakan arisan maka ibu – ibu akan menyiapkan rumah dan makanannya untuk menyambut tamu – tamu yang akan datang. Namun ada suatu peraturan dalam kegiatan arisan ini, yaitu siapa yang mendapat giliran mendapat uang maka ia harus menghibahkan uangnya untuk pembangunan pura dan jumlah uang yang ingin dihibahkan tidak ditentukan atau dengan kata lain setiap orang berhak memberikan berapa uang yang akan dihibahkannya.
Laki – laki Kampung Bali juga memiliki kewajiban untuk menyetorkan uang sebesar Rp10.000,- setiap bulannya pada bendahara Sukaduka . Uang yang mereka setorkan berguna untuk pembangunan pura, sehingga kita tidak perlu heran jika setiap tahun pura tersebut terus mengalami pembangunan . Kesadaran warga dan rasa perduli pada rumah ibadah sangat terasa pada masyarakat Hindu Bali ini, mereka tidak membeda – bedakan orang dalam menyumbang dan juga tidak menetapkan biaya kutipan yang besar untuk tiap bulannya sehingga setiap orang mampu untuk membayar uang kutipan tersebut. Terkadang ada juga penduduk yang menyumbangkan uangnya untuk keperluan pura jika ia mendapat rezeki, misalnya ketika ia panen karet atau sawit.
Organisasi Persatuan Muda/i Hindu Dharma Kampung Bali adalah organisasi khusus bagi pemuda dan pemudi Hindu Bali, yang anggotanya sekitar 25 orang. Kegiatan rutin yang dilakukan oleh organisasi ini adalah : (1) belajar agama pada setiap malam senin jika cuaca memungkinkan dan ada 3 orang pengajar mereka yang mengajar secara bergantian, yaitu Pinandita, Ketua, ataupun penduduk Hindu Bali yang telah lulus sarjana ilmu agama. (2) belajar membuat simbol – simbol yang juga dilakukan setiap malam senin setelah selesai belajar agama, mereka diajarkan untuk membuat simbol – simbol yang berguna untuk menghias pura ataupun rumah mereka, mis : membuat janur, dan yang mengajar mereka adalah para ibu – ibu . (3) belajar menari bagi anak – anak SMP, SMA, dan mahasiswa/i . Organisasi ini tidak mengajar tarian pada anak – anak kecil karena jadwal latihan nari mereka yang dilakukan pada malam hari, yaitu malam selasa dan malam jum’at. Yang mengajar nari adalah anak dari pak pemangku, dahulu ia pernah sekolah di Bali dan belajar tentang tari – tarian Bali, ternyata ada beberapa tarian sakral Bali yang hanya dapat ditarikan di dalam pura karena tarian tersebut tertuju pada Ida Sanghyang Widhi Wasa . Ida Sanghyang Widhi Wasa adalah sebutan bagi Tuhan pencipta semesta dan penuh kasih bagi masyarakat Hindu Bali. (4) membantu jika ada kegiatan yang akan dilakukan di pura, misalnya dengan menghias pura dengan janur – janur .
Pemilihan Pinandita di Kampung Bali adalah berdasarkan sistem garis keturunan. Namun jika belum siap maka dilakukan pemilihan, jika tidak datat dilakukan dengan pemilihan maka dilakukan pemangsit, yaitu dengan cara berdoa sebanyak 3 kali meminta petunjuk pada Ida Sanghyang Widhi Wasa, dan jika tidak dapat juga maka dilakukan dengan cara pakai kwangen, yaitu suatu rangkaian bunga – bunga dan daun sirih yang diisi bunga khusus dan diberi pada setiap laki – laki dan kemudian siapa yang dapat kwangen yang berisi bunga khusus tersebut, maka ialah yang akan menjadi pinandita .
“Kepengurusan dalam hal keagamaan adalah kepengurusan yang tanpa pamrih, sehingga saya pernah menjabat sebagai bendahara selama 25 tahun” jelas Pak I Nengah Samba kepada kami . Namun untuk menjadi Pinandita, hendaknya harus berdasarkan keturunan, seperti Bapak I Dewa Putu Dana adalah seorang Pinandita yang terpilih berdasarkan garis keturunan, beliau merupakan generasi ketiga di Kampung Bali dan sudah tiga tahun menjabat sebagai Pinandita. Penduduk yang ada di Kampung Bali ini kebanyakan berasal dari keturunan sudra dan kesatria. Salah satu keturunan ksatria adalah Bapak I Dewa Putu Dana, pemangku ataupun pinandita yang dipilih menurut keturunan akan lebih baik karena ia akan lebih memahami dan menghafal matra – mantra yang ada pada Weda. Bapak I Nengah Samba yang juga merupakan wakil dari pemangku berkata bahwa sangat banyak dan panjang mantra – mantra yang harus dihafal ketika upacara ataupun sembhayang sehingga terkadang jika tidak sanggup menghafalnya, maka mantra dapat ditulis dikertas dan dibacakan pada saat sembayang ataupun upacara .
Pada organisasi kepemerintahan telah ditetapkan bahwa yang dapat menjadi kepala dusun di Kampung Bali harus berasal dari penduduk Hindu Bali meskipun ada juga penduduk non Hindu Bali, namun dalam pemilihan kepala desa belum pernah ada calon dari penduduk Hindu Bali. Suatu konflik yang terjadi Kampung Bali adalah tentang pengangkatan kepala dusun yang tidak diketahui oleh warga. Kepala dusun sebelumnya adalah orang tua dari kepala dusun yang sekarang dan kepala desa yang sedang menjabat adalah abang dari isteri kepala dusun, Bapak I Nyoman Sumandro. Pengangkatan secara sepihak tersebut telah menimbulkan keresahan pada warga sehingga mereka mengadukan keberatan tersebut pada kepala desa dan kepala desa meminta agar warga mencari sendiri siapa calon yang cocok untuk menjadi kepala dusun Kampung Bali, namun sampai saat ini mereka belum juga menemukan orang yang cocok untuk diangkat sebagai kepala dusun. Keadaan ini terkadang membuat warga bingung ketika ada suatu kasus yang ada dimasyarakat kepada siapa mereka mengadu, pada kepala dusun yang sekarang atau pada kepala dusun yang dahulu, yaitu orangtua dari kepala dusun yang sekarang karena tidak jelasan yang sedang terjadi di masyarakat.
Kabar pemilihan umum pada masyarakat Hindu Bali disampaikan oleh dusun, kemudian biasanya akan ada kampanye – kampanye yang dilakukan langsung oleh si calon wakil rakyat atau pun tim suksesnya. Sebagai contoh kampanye yang dilakukan Syamsul Arifin sebelum pemilu, ia datang ke Kampung Bali dan mendirikan sekolah serta memperbaiki jalan – jalan yang ada di Kampung Bali. Namun setelah penduduk memilihnya dan ketika ia menang menjadi wakil rakyat di pemerintahan, ia menjadi lupa akan penduduk Kampung Bali dan janji – janji yang ia ucapkan dahulu . Namun tidak jarang mereka juga memilih wakil yang sesuai dengan hati nurani mereka sekalipun calon ataupun tim sukses dari calon tersebut tidak pernah melakukan kampanye di Kampung Bali maupun Desa Paya Tusam .
Gambaran Umum Kampung Bali di Langkat
Kampung Bali adalah suatu kampung yang terletak di Desa Paya Tusam, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat. I Nyoman Sumandro, beliau adalah kepala dusun di Kampung Bali ini. Pura Penataran Agung Widya Loka Nata adalah nama pura yang didirikan pada tanggal 16 November 1976 dengan biaya dari masyarakat Hindu Bali sendiri dan juga dari departeman agama . Menurut informasi yang saya peroleh dari wakil pemangku yang bernama Bapak I Nengah Samba, ketika pada masa pembanguan pertama pura ini, penduduk laki – laki dan perempuan harus berjalan kaki sejauh 12 kilometer untuk mengangkat bahan – bahan bangunan yang dikirim dari kota. Jalan masuk ke Kampung Bali masih belum ada sehingga mobil yang membawa bahan bangunan tidak dapat memasuki daerah tersebut. Memerlukan waktu yang lumayan lama ketika membawa bahan – bahan tersebut karena bahannya banyak yang berupa batu yang beratnya ± 9kg, tugas perempuan adalah memikul bahan bangunan yang dapat mereka bawa.
Umat Hindu Bali adalah orang yang pertama tinggal di Kampung Bali ini, mereka merupakan transmigran dari Bali yang datang ke Sumatera karena terikat kontrak dengan Perkebunan Tanjung Gabus di Lubuk Pakam, mereka menjadi buruh selama 6 – 12 tahun dan pada tahun ke 12 Parisado (Lembaga Hindu) di Medan mencarikan mereka lahan di daerah Langkat. Tahun 1973, 9 orang meninjau lahan seluas 200ha di Langkat dan pada tahun 1974 – 1975 umat Hindu Bali dari Tanjung Karbus (Lubuk Pakam) sebanyak ± 30 kepala keluarga dan dari Banda Pulo (Bali) sebanyak 5 kepala keluarga mulai pindah ke Kampung Bali dan mulai mendirikan pura . Namun pada tahun 1976 – 1979, mereka mengalami depresi karena ternyata hutan yang mereka tempati adalah hutan tua. Mereka kesusahan mencari makanan kerena berada jauh dari kota dan tidak memiliki kendaraan, listrik juga belum ada sehingga mereka sangat merasakan depresi dan ada beberapa penduduk yang tidak dapat bertahan hidup pada saat itu sehingga meninggal dunia.
Kampung Bali merupakan lokasi tempat kami melakukan penelitian selama empat hari tiga malam. Fokus penelitian kami adalah penduduk yang ada di Kampung Bali yang terdiri dari 40 kepala keluarga Hindu Bali dan beberapa warga yang merupakan beragama muslim dan Kristen. Dalam kesehariannya, penduduk Kampung Bali ini bekerja sebagai buruh pada perkebunan karet dan kelapa sawit milik pengusaha yang kebunnya terletak disekitar daerah Kampung Bali, namun ada juga penduduk yang memiliki ladang karet dan sawit pribadi . Suasana kampung ini terasa sangat sunyi dari pagi sampai sore hari kerena mereka sudah mulai kerja jam 5 subuh dan ketika pulang pada tengah hari mereka sudah kelelahan sehingga hanya beristirahat didalam rumah ataupun menonton televisi. Pekerjaan ini tidak hanya bagi laki - laki saja, wanita juga bekerja di ladang seperti laki - laki namun pulang kerumah lebih dahulu agar dapat menyediakan makanan.
Informasi diatas tersebut saya peroleh dari informan saya yang juga merupakan Pinandita di kampung ini, Bapak memiliki gelar dan nama I Dewa Putu Dana, yang memiliki arti, yaitu I Dewa yang berarti keturunan kesatria, Putu yang berarti anak pertama, dan Dana merupakan nama dari bapak tersebut. Pak I Dewa Putu Dana mengatakan bahwa, di Kampung Bali ini ada dua Pura yang digunakan oleh masyarakat Hindu untuk beribadah, satu pura yang biasa digunakan oleh hanya lima belas kepala keluarga dan satu pura umum yang digunakan untuk sembayang bersama seluruh umat Hindu yang ada disana dan juga sebagai tempat upacara keagamaan ataupun penyambutan bagi tamu yang datang berkunjung ke Kampung Bali tersebut.
Penduduk yang ada di Kampung Bali ini tidak hanya umat Hindu Bali, namun ada juga yang beragama Muslim dan Kristen meskipun jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah penduduk Hindu Bali yang banyaknya sekitar 40 kepala keluarga, untuk membedakan penduduk Hindu Bali dengan penduduk lainnya adalah dengan cara melihat bangunan Sanggah/Merajan, yaitu tempat pemujaan yang biasanya berada di samping depan rumah – rumah penduduk Hindu Bali. Meskipun penduduk Hindu Bali merupakan penduduk yang mayoritas, namun kerukunan antar umat beragama tetap terjalin dikampung ini. Sebagai contoh, seorang ibu bernama Ni Made Sarase berkata bahwa jika umat muslim mengadakan acara maka mereka akan mengundang umat Hindu, begitu juga sebaliknya dengan umat Hindu yang mengundang umat muslim dan Kristen ketika ada acara dan menyediakan makanan khusus karena umat muslin tidak dapat memakan daging babi yang biasa dimakan oleh umat Hindu dan Batak. Di Kampung Bali ini, ada beberapa penduduk yang beternak babi dan pada umumnya babi – babi tersebut berkeliaran bebas disekitar kampung seperti yang kami lihat ketika suatu pagi pergi ke pura dan melihat beberapa ekor babi berjalan – jalan disekitar pura. Pada saat sekarang ini, penduduk memelihara babi untuk sekedar kebutuhan pada saat upacara ataupun acara – acara yang ada di masyarakat Hindu Bali dan memerlukan babi sebagai pelengkap dari upacara tersebut.
Jarak tempuh dari Medan menuju lokasi Kampung Bali ini sekitar 2,5 jam perjalanan, dan tidak ada angkutan umum yang dapat mengantar samapi ke tempat jika ingin ke Kampung Bali sehingga kita harus mengendarai mobil pribadi atau pun menyewa mobil. Dari Medan, kemudian kita berjalan kearah Binjai dan menuju kearah jembatan Lincun, memasuki daerah Selesai, selayang, dan kemudian harus menyeberang sungai yang memisahkan dua daerah tersebut, sungai tersebut lumayan lebar.. Sungai Wampu adalah nama sungai tersebut, untuk dapat sampai ke tempat penelitian, kami harus menyeberangi sungai Wampu ini dengan menggunakan getek, yaitu semacam rakit yang terbuat dari kayu – kayu yang disusun dan ada sebuah gubuk dari jerami di ujungnya. Ujung getek tersebut diikatkan dengan tali yang dihubungkan dengan tali yang diikatkan pada ujung lebar sungai sehingga getek tersebut dapat menyeberangi sungai dengan bertumpu pada tali tersebut agar getek tidak terbawa arus air sungai . Banyak sepeda motor yang dapat diangkut oleh getek tersebut adalah ± 15 sepeda motor dan ±1 0 orang, jika tidak ada mobil yang juga ikut menyeberang, namun jika ada mobil yang mau menyeberang maka muatan orang dan sepeda motor harus dikurangi agar beratnya tetap seimbang . Apabila jumlah muatan tidak seimbang, maka dapat terjadi hal – hal yang tidak diinginkan . Biaya yang dibutuhkan untuk menyeberang adalah sebesar Rp1.000,-/orang, Rp2.000,-/motor, dan Rp10.000,-/mobil .
Selesai menyeberang maka kita harus melanjutkan perjalanan sekitar 1 jan lagi untuk dapat sampai ke Kampung Bali. Kondisi jalan setelah selesai menyeberang adalah jalan tanah yang apabila hujan turun, maka jalan tersebut licin dan susah untuk dilalui oleh kendaraan . Ada sekitar 3 tanjakan terjal dan jembatan yang juga harus dilalui, sepanjang perjalanan terlihat beberapa desa dan sekolah – sekolah dasar, namun tidak akan dijumpai pasar sehingga jika ingin berbelanja maka penduduk harus kembali menyeberang dengan getek.
Langganan:
Postingan (Atom)