Kampung Bali adalah suatu kampung yang terletak di Desa Paya Tusam, Kecamatan Wampu, Kabupaten Langkat. I Nyoman Sumandro, beliau adalah kepala dusun di Kampung Bali ini. Pura Penataran Agung Widya Loka Nata adalah nama pura yang didirikan pada tanggal 16 November 1976 dengan biaya dari masyarakat Hindu Bali sendiri dan juga dari departeman agama . Menurut informasi yang saya peroleh dari wakil pemangku yang bernama Bapak I Nengah Samba, ketika pada masa pembanguan pertama pura ini, penduduk laki – laki dan perempuan harus berjalan kaki sejauh 12 kilometer untuk mengangkat bahan – bahan bangunan yang dikirim dari kota. Jalan masuk ke Kampung Bali masih belum ada sehingga mobil yang membawa bahan bangunan tidak dapat memasuki daerah tersebut. Memerlukan waktu yang lumayan lama ketika membawa bahan – bahan tersebut karena bahannya banyak yang berupa batu yang beratnya ± 9kg, tugas perempuan adalah memikul bahan bangunan yang dapat mereka bawa.
Umat Hindu Bali adalah orang yang pertama tinggal di Kampung Bali ini, mereka merupakan transmigran dari Bali yang datang ke Sumatera karena terikat kontrak dengan Perkebunan Tanjung Gabus di Lubuk Pakam, mereka menjadi buruh selama 6 – 12 tahun dan pada tahun ke 12 Parisado (Lembaga Hindu) di Medan mencarikan mereka lahan di daerah Langkat. Tahun 1973, 9 orang meninjau lahan seluas 200ha di Langkat dan pada tahun 1974 – 1975 umat Hindu Bali dari Tanjung Karbus (Lubuk Pakam) sebanyak ± 30 kepala keluarga dan dari Banda Pulo (Bali) sebanyak 5 kepala keluarga mulai pindah ke Kampung Bali dan mulai mendirikan pura . Namun pada tahun 1976 – 1979, mereka mengalami depresi karena ternyata hutan yang mereka tempati adalah hutan tua. Mereka kesusahan mencari makanan kerena berada jauh dari kota dan tidak memiliki kendaraan, listrik juga belum ada sehingga mereka sangat merasakan depresi dan ada beberapa penduduk yang tidak dapat bertahan hidup pada saat itu sehingga meninggal dunia.
Kampung Bali merupakan lokasi tempat kami melakukan penelitian selama empat hari tiga malam. Fokus penelitian kami adalah penduduk yang ada di Kampung Bali yang terdiri dari 40 kepala keluarga Hindu Bali dan beberapa warga yang merupakan beragama muslim dan Kristen. Dalam kesehariannya, penduduk Kampung Bali ini bekerja sebagai buruh pada perkebunan karet dan kelapa sawit milik pengusaha yang kebunnya terletak disekitar daerah Kampung Bali, namun ada juga penduduk yang memiliki ladang karet dan sawit pribadi . Suasana kampung ini terasa sangat sunyi dari pagi sampai sore hari kerena mereka sudah mulai kerja jam 5 subuh dan ketika pulang pada tengah hari mereka sudah kelelahan sehingga hanya beristirahat didalam rumah ataupun menonton televisi. Pekerjaan ini tidak hanya bagi laki - laki saja, wanita juga bekerja di ladang seperti laki - laki namun pulang kerumah lebih dahulu agar dapat menyediakan makanan.
Informasi diatas tersebut saya peroleh dari informan saya yang juga merupakan Pinandita di kampung ini, Bapak memiliki gelar dan nama I Dewa Putu Dana, yang memiliki arti, yaitu I Dewa yang berarti keturunan kesatria, Putu yang berarti anak pertama, dan Dana merupakan nama dari bapak tersebut. Pak I Dewa Putu Dana mengatakan bahwa, di Kampung Bali ini ada dua Pura yang digunakan oleh masyarakat Hindu untuk beribadah, satu pura yang biasa digunakan oleh hanya lima belas kepala keluarga dan satu pura umum yang digunakan untuk sembayang bersama seluruh umat Hindu yang ada disana dan juga sebagai tempat upacara keagamaan ataupun penyambutan bagi tamu yang datang berkunjung ke Kampung Bali tersebut.
Penduduk yang ada di Kampung Bali ini tidak hanya umat Hindu Bali, namun ada juga yang beragama Muslim dan Kristen meskipun jumlahnya lebih sedikit daripada jumlah penduduk Hindu Bali yang banyaknya sekitar 40 kepala keluarga, untuk membedakan penduduk Hindu Bali dengan penduduk lainnya adalah dengan cara melihat bangunan Sanggah/Merajan, yaitu tempat pemujaan yang biasanya berada di samping depan rumah – rumah penduduk Hindu Bali. Meskipun penduduk Hindu Bali merupakan penduduk yang mayoritas, namun kerukunan antar umat beragama tetap terjalin dikampung ini. Sebagai contoh, seorang ibu bernama Ni Made Sarase berkata bahwa jika umat muslim mengadakan acara maka mereka akan mengundang umat Hindu, begitu juga sebaliknya dengan umat Hindu yang mengundang umat muslim dan Kristen ketika ada acara dan menyediakan makanan khusus karena umat muslin tidak dapat memakan daging babi yang biasa dimakan oleh umat Hindu dan Batak. Di Kampung Bali ini, ada beberapa penduduk yang beternak babi dan pada umumnya babi – babi tersebut berkeliaran bebas disekitar kampung seperti yang kami lihat ketika suatu pagi pergi ke pura dan melihat beberapa ekor babi berjalan – jalan disekitar pura. Pada saat sekarang ini, penduduk memelihara babi untuk sekedar kebutuhan pada saat upacara ataupun acara – acara yang ada di masyarakat Hindu Bali dan memerlukan babi sebagai pelengkap dari upacara tersebut.
Jarak tempuh dari Medan menuju lokasi Kampung Bali ini sekitar 2,5 jam perjalanan, dan tidak ada angkutan umum yang dapat mengantar samapi ke tempat jika ingin ke Kampung Bali sehingga kita harus mengendarai mobil pribadi atau pun menyewa mobil. Dari Medan, kemudian kita berjalan kearah Binjai dan menuju kearah jembatan Lincun, memasuki daerah Selesai, selayang, dan kemudian harus menyeberang sungai yang memisahkan dua daerah tersebut, sungai tersebut lumayan lebar.. Sungai Wampu adalah nama sungai tersebut, untuk dapat sampai ke tempat penelitian, kami harus menyeberangi sungai Wampu ini dengan menggunakan getek, yaitu semacam rakit yang terbuat dari kayu – kayu yang disusun dan ada sebuah gubuk dari jerami di ujungnya. Ujung getek tersebut diikatkan dengan tali yang dihubungkan dengan tali yang diikatkan pada ujung lebar sungai sehingga getek tersebut dapat menyeberangi sungai dengan bertumpu pada tali tersebut agar getek tidak terbawa arus air sungai . Banyak sepeda motor yang dapat diangkut oleh getek tersebut adalah ± 15 sepeda motor dan ±1 0 orang, jika tidak ada mobil yang juga ikut menyeberang, namun jika ada mobil yang mau menyeberang maka muatan orang dan sepeda motor harus dikurangi agar beratnya tetap seimbang . Apabila jumlah muatan tidak seimbang, maka dapat terjadi hal – hal yang tidak diinginkan . Biaya yang dibutuhkan untuk menyeberang adalah sebesar Rp1.000,-/orang, Rp2.000,-/motor, dan Rp10.000,-/mobil .
Selesai menyeberang maka kita harus melanjutkan perjalanan sekitar 1 jan lagi untuk dapat sampai ke Kampung Bali. Kondisi jalan setelah selesai menyeberang adalah jalan tanah yang apabila hujan turun, maka jalan tersebut licin dan susah untuk dilalui oleh kendaraan . Ada sekitar 3 tanjakan terjal dan jembatan yang juga harus dilalui, sepanjang perjalanan terlihat beberapa desa dan sekolah – sekolah dasar, namun tidak akan dijumpai pasar sehingga jika ingin berbelanja maka penduduk harus kembali menyeberang dengan getek.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar